Contoh Jumlah Fi’liyah Fi’il Madhi, Mudhari, dan Amr

Daftar Isi

Dilihat berdasarkan bentuk dan perubahannya, kalimah fi’il atau kata kerja dalam bahasa Arab dibedakan menjadi 3 macam, yaitu fi’il madhi (kata kerja lampau), fi’il mudhari (kata kerja masa kini atau yang akan datang), dan fi’il amr (kata kerja perintah).

Di samping harus menyebutkan fa’il (subyek/pelaku), ketiga macam fi’il tersebut merupakan komponen pokok dalam struktur jumlah fi’liyah (kalimat verba). Karena untuk menunjukkan kepada suatu peristiwa, perbuatan, atau tindakan yang dilakukan seseorang dibutuhkan adanya fi’il atau kata kerja.

Ada beberapa kaidah jumlah fi’liyah yang harus diketahui dalam penyusunan kalimat menggunakan pola kalimat verba, yaitu:

  1. Fi’il harus sama jenis dengan fa’ilnya.
  2. Fi’il tetap dalam keadaan mufrad sekalipun fa’ilnya berupa tasniyah atau jamak.
  3. Fa’il harus dibaca rofa’ atau marfu’.

Perhatikan contoh jumlah fi’liyah untuk fi’il madhi dan mudhari dengan fa’il isim mufrad berikut ini:

Mudzakkar
Madhi Mudhari
قَامَ خَالِدٌ
(Khalid telah berdiri)
يَقُوْمُ خَالِدٌ
(Khalid sedang berdiri)
جَلَسَ أَحْمَدُ
(Ahmad telah duduk)
يَجْلِسُ أَحْمَدُ
(Ahmad sedang duduk)
رَجَعَ زَيْدٌ
(Zaid telah pulang)
يَرْجِعُ زَيْدٌ
(Zaid akan pulang)
خَرَجَ التَّاجِرُ
(Pedagang telah keluar)
يَخْرُجُ التَّاجِرُ
(Pedagang akan keluar)
Muannats
Madhi Mudhari
قَامَتْ فَاطِمَةٌ
(Fatimah telah berdiri)
تَقُوْمُ فَاطِمَةٌ
(Fatimah sedang berdiri)
جَلَسَتْ عَائِشَةٌ
(Aisyah telah duduk)
تَجْلِسُ عَائِشَةٌ
(Aisyah sedang duduk)
رَجَعَتْ الطَّالِبَةُ
(Siswi telah pulang)
تَرْجِعُ الطَّالِبَةُ
(Siswi akan pulang)
خَرَجَتْ التَّاجِرَةُ
(Pedagang telah keluar)
تَخْرُجُ التَّاجِرَةُ
(Pedagang akan keluar)

Kalimat pada tabel di atas adalah contoh jumlah fi’liyah dengan fa’il berupa isim dhahir, bukan isim dhomir atau kata ganti. Yang perlu diketahui di sini adalah, bahwa 14 bentuk fi’il madhi dan mudhari mulai dhamir هُوَ hingga نَحْنُ, ada 8 bentuk yang subyeknya sudah melekat pada fi’ilnya, yaitu:

  1. أَنْتَ (kamu {lk})
  2. أَنْتُمَا (kalian berdua {lk})
  3. أَنْتُمْ (kalian {lk})
  4. أَنْتِ (kamu {pr})
  5. أَنْتُمَا (kalian berdua {pr})
  6. أَنْتُنَّ (kalian {pr})
  7. أَنَا (Saya {lk/pr})
  8. نَحْنُ (kita {lk/pr})

Contohnya bisa dilihat untuk kata kerja pergi berikut:

Madhi Mudhari Dhamir
ذَهَبْتَ تَذْهَبُ أَنْتَ
ذَهَبْتُمَا تَذْهَبَانِ أَنْتُمَا
ذَهَبْتُم تَذْهَبُونَ أَنْتُمْ
ذَهَبْتِ تَذْهَبِيْنَ أَنْتِ
ذَهَبْتُمَا تَذْهَبَانِ أَنْتُمَا
ذَهَبْتُنَّ تَذْهَبْنَ أَنْتُنَّ
ذَهَبْتُ أَذْهَبُ أَنَا
ذَهَبْنَا نَذْهَبُ نَحْنُ

Perhatikan tabel di atas. Ke 8 bentuk fa’il (subyek) tersebut telah melekat pada fi’il madhi dan mudhari. Artinya, ketika berkata; kamu akan pergi, maka cukup menggunakan kalimat تَذْهَبُ. Karena kalimat barusan sudah mengandung subyek berupa dhamir أَنْتَ (kamu) yang melekat pada تَذْهَبُ. Berbeda dengan fi’il madhi dan mudhari untuk dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga), jika hanya berkata ذَهَبَ saja, maka tidak jelas yang pergi siapa sampai kita menyebutkan fa’ilnya berupa isim dhahir, menjadi ذَهَبَ زَيْدٌ (Zaid pergi) misalnya.

Fa’il yang telah melekat pada fi’ilnya ini juga berlaku untuk fi’il amr (kata kerja perintah), kecuali dhamir أَنَا dan نَحْنُ. Karena dalam tashrif fi’il amr hanya diperuntukkan bagi dhamir mukhatab (kata ganti orang kedua), bukan ghaib (kata ganti orang ketiga) maupun mutakallim (kata ganti orang pertama). Ketika berkata; أُنْظُرْ (lihatlah!), maka sudah pasti perintah tersebut ditujukan kepada lawan bicara (kamu). Oleh karena itu, meski terlihat hanya satu kata saja, kata أُنْظُرْ pada hakikatnya terdiri dari dua kata, yaitu أُنْظُرْ dan أَنْتَ, sehingga telah memenuhi syarat kalimat yang minimal harus terdiri dari dua kata.

Contoh jumlah fi’liyah untuk fi’il amr أُنْظُرْ bisa kita lihat pada tabel berikut:

Kalimat Dhamir Arti
أُنْظُرْ أَنْتَ Lihatlah (kamu {lk})
أُنْظُرَا أَنْتُمَا Lihatlah (kalian berdua {lk})
أُنْظُرُوا أَنْتُمْ Lihatlah (kalian {lk})
أُنْظُرِيْ أَنْتِ Lihatlah (kamu {pr})
أُنْظُرَا أَنْتُمَا Lihatlah (kalian berdua {pr})
أُنْظُرْنَ أَنْتُنَّ Lihatlah (kalian {pr})

Dalam kaidah telah disebutkan, bahwa fi’il tetap dalam keadaan mufrad sekalipun fa’il atau subyeknya berupa tasniyah atau jamak. Perhatikan contoh jumlah fi’liyah untuk fa’il tasniyah dan jamak berikut:

Arti Kalimat
Dua muslim telah pergi ذَهَبَ المُسْلِمَانِ
Dua muslim akan pergi يَذْهَبُ المُسْلِمَانِ
Dua mukmin {pr} telah duduk جَلَسَتْ المُؤْمِنَتَانِ
Dua mukmin {pr} sedang duduk تَجْلِسُ المُؤْمِنَتَانِ
Para pelajar telah pulang رَجَعَ الطَّالِبُونَ
Para pelajar akan pulang يَرْجِعُ الطَّالِبُونَ
Para guru {pr} telah pulang رَجَعَتْ المُدَرِّسَاتُ
Para guru {pr} akan pulang تَرْجِعُ المُدَرِّسَاتُ
Buku-buku telah hilang سَقَطَتْ الأَوْرَاقُ
Para pelajar telah duduk جَلَسَ الطُّلَّابُ

Perhatikan contol pada tabel di atas. Misal kalimat ذَهَبَ المُسْلِمَانِ (Dua muslim telah pergi), tidak boleh kemudian menggunakan fi’il madhi dengan dhamir هُمَا, karena ini menyalahi kaidah ilmu nahwu.

Begitu juga dengan jumlah fi’liyah dengan fa’il (subyek) berupa jamak, baik itu mudzakkar salim, muannats salim, maupun jamak taksir. Misalkan kalimat سَقَطَتْ الأَوْرَاقُ, sekalipun kata الأَوْرَاقُ dalam bentuk jamak, kata kerja سَقَطَتْ tetap dalam keadaan mufrad. Akan tetapi, dalam hal jenis antara fi’il dan fa’il untuk jamak taksir baik lil aqil (untuk yang berakal) maupun lighairil aqil (untuk yang tidak berakal) sedikit memiliki perbedaan kaidah sebagai berikut:

  1. Jika fa’il berupa jamak taksir lil aqil, maka harus sama jenis dengan fi’ilnya.
  2. Jika fa’il berupa jamak taksir lighairil aqil, maka fi’il wajib dalam keadaan mufrad muannats.

Untuk lebih memahami kaidah tersebut, silakan perhatikan beberapa contoh dalam tabel berikut:

Jamak Taksir
Lil aqil Lighairil aqil
جَلَسَتْ النِّسَاءُ
(Para wanita duduk)
نَبَتَتْ الأَشْجَارُ
(Pohon-pohon tumbuh)
ذَهَبَ التُّجَّارُ
(Para pedagang pergi)
إِطْمَئَنَّتْ النُّفُوسُ
(Jiwa-jiwa telah tenang)
دَخَلَ الأَوْلَادُ
(Anak-anak telah masuk)
غَرِدَتْ الطُّيُورُ
(Burung-burung berkicau)

Demikianlah contoh jumlah fi’liyah fi’il madhi, mudhari, dan amr. Perlu digaris bawahi bahwa muannatsnya suatu isim (kata benda) itu memiliki dua kemungkinan. Pertama, karena keberadaan ta’ marbuthah, yaitu huruf yang berada di akhir kata untuk menunjukkan kepada jenis perempuan (feminim), seperti شَجَرَةٌ (pohon). Kedua, kata yang disepakati oleh orang Arab sebagai muannats, seperti نَفْسٌ (jiwa). Kata seperti contoh  barusan apabila berubah menjadi bentuk jamak taksir maka dikenakan hukum muannats. Sehingga ketika menjadi fa’il, fi’ilnya pun juga harus dalam keadaan muannats.

Nahwu Shorof Online
Nahwu Shorof Online Media belajar bahasa Arab online terbaik, menyajikan materi ilmu Nahwu dan Shorof yang bersumber dari buku dan kitab bahasa Arab.

Posting Komentar