Skip to main content

Hukum Membuang Mubtada dan Membuang Khabar

Table of Content [ ]
Dalam tata bahasa Arab mubtada khobar merupakan dua bagian yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan dalam struktur jumlah ismiyyah atau kalimat nominal. Di mana ada mubtada, dapat dipastikan di situ pasti ada khabar. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu ternyata ada juga yang membuang mubtada dan khabar. Bagaimana hukumnya ? Apa saja syarat ketentuannya ? Semuanya akan kita kaji di sini lengkap beserta dalil-dalilnya.

Hubungan Mubtada dan Khobar

Mubtada adalah setiap isim (kata benda) yang terletak di awal kalimat berkedudukan menjadi mahkum bih atau sesuatu yang hendak kita hukumi. Sedangkan khabar adalah kata baik itu berupa mufrad (berdiri sendiri) maupun jumlah/syibhul jumlah yang menjadi mahkum alaih (hukum yang disandarkan) pada mubtada.

Bisa dikatakan, bahwa mubtada adalah sebuah informasi yang akan kita sampaikan kepada mukhatthab (orang yang kita ajak bercakap), dan khabar adalah isi dari informasi yang hendak kita sampaikan tadi. Contoh mudahnya kalimat “زَيْدٌ جَاءَ” (Zaid sudah datang), kata “زَيْدٌ” merupakan mubtada dan “جَاءَ” sebagai khabar atau isi informasi yang ditetapkan atas “Zaid”. Sehingga kalimat barusan menjadi sebuah kalimat sempurna karena sudah memuat keterangan secara lengkap dan utuh.

Jika kita hanya mengucapkan kata “زَيْدٌ”, lawan bicara tentunya akan kebingungan dan bertanya-tanya “Iya Zaid kenapa, apakah ia sakit, berangkat ke masjid, sedang duduk, datang atau pergi?”. Namun ketika kita sandingkan bersama khabar seperti kalimat “زَيْدٌ جَاءَ” di atas ia akan membentuk kalimat sempurna. Dan lawan bicara kita akan paham dengan apa yang kita sampaikan. Sehingga kita tidak perlu memberikan penjelasan lebih lanjut lagi mengenai apa yang kita bicarakan.

Oleh karena itulah keduanya harus selalu beriringan, sebab hubungan mubtada dan khobar bagaikan manusia dengan alam yang saling memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Penjelasan singkat ini kami rasa cukup menjawab pertanyaan tentang “kenapa mubtada dan khabar tidak bisa dipisahkan?”, Insya Allah.

Hukum Membuang Mubtada dan Khabar

Sebagaimana telah kami sampaikan sebelumnya, bahwa dalam keadaan tertentu ada ketentuan membuang mubtada dan membuang khabar. Tetapi, pada hakikatnya sesuatu yang dibuang itu ada, hanya saja tidak nampak dalam penulisan atau pelafadzannya.

Ada dua hukum membuang mubtada dan khabar yang akan kami jelaskan di sini, yaitu jawaz (boleh) dan wujub (wajib). Mana dalil yang memperkuat hukum ini ?

Dalil mubtada dan khobar yang boleh (jawaz) bahkan wajib (wujub) dibuang adalah perkatan Syaikh Imam Ibnu Malik dalam kitab fenomenal beliau “Alfiyah ibnu Malik”, yang berbunyi :

وَحَدْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا | تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada atau khabar yang telah diketahui itu boleh,  seperti saat kamu berkata : “زَيْدٌ” (Zaid) sesudah pertanyaan “مَنْ عِنْدَ كُمَا” (Siapa yang di dekat kalian berdua itu?)”.

وَفِى جَوَابِ كَيْفَ زَيْدٌ قُلْ دَنِفْ | فَزَيْدٌ اسْتُغْنِيَ عَنْهُ إِذْ عُرِفْ
“Dan di dalam jawaban atas pertanyaan “كَيْفَ زَيْدٌ” (bagaimana Zaid?), jawablah “دَنِفْ” (sakit), maka dicukupkan dari kata “Zaid” karena telah diketahui ”.

وَبَعْدَ لَوْلَا غَالِبًا حَدْفُ الخَبَرْ| حَتْمٌ وَفِى نَصِّ يَمِيْنٍ ذَا اسْتَقَرْ
“Wajib membuang khabar yang terjatuh setelah lafadz laula لَوْلَا”, dan khabar dengan mubtada yang mutlak untuk sumpah ”.

وَبَعْدَ وَاوٍ عَيَّنَتْ مَفْهُومَ مَعْ | كَمِثْلِ كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنَعْ
“Dan khabar yang terjatuh sesudah wawu ma’iyyah, seperti kalimat “كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنَعَ” (setiap yang membuat beserta yang dibuat)”.

وَقَبْلَ حَالٍ لَا يَكُوْنُ خَبَرَا | عَنِ الَّذِيْ خَبَرُهُ قَدْ أُضْمِرَا
“Dan khabar yang terletak sebelum tarkib chal yang tidak layak menjadi khabar dari mubtada yang khabarnya benar-benar disembunyikan”.

كَضَرْبِيَ عَبْدَ مُسِيْئًا وَأَتَمْ | تَبْيِينِيَ الحَقَّ مَنُوْطًا بِالحِكَمْ
“Seperti kalimat “ضَرْبِيَ عَبْدَ مُسِيْئًا” (pukulanku kepada hamba yang berbuat jahat), dan “وَأَتَمُّ تَبْيِينِيْ الحَقَّ مَنُوْطًا بِالحِكَمِ” (paling sempurnanya penjelasanku akan kebenaran bilamana sesuai dengan hukum-hukum)”.

Syarat Ketentuan Membuang Mubtada dan Khabar

Agar lebih memahami lagi syair Alfiyah ibnu Malik di atas, berikut akan kami rincikan yang mencakup syarat ketentuan membuang mubtada dan membuang khabar.

Pertama, ketika salah satu dari mubtada dan khabar sudah ma’lum (diketahui) maka hukumnya boleh membuang mubtada/khabar yang ma’lum tadi.

Contoh :

  • كَيْفَ زَيْدٌ؟ مَرِيْضٌ (Bagaimana Zaid? Sakit).
  • مَنْ عِنْدَكَ؟ خَالِدٌ (Siapa di dekatmu? Khalid).

Lafadz “كَيْفَ” tersebut adalah isim iftifham menduduki keadaan rofa’ menjadi khabar muqaddam dan “زَيْدٌ” sebagai mubtada muakhor. Dan kata “مَرِيْضٌ” adalah contoh khabar yang mubtada-nya dibuang karena ma’lum (diketahui). Apabila ditakdirkan menjadi “زَيْدٌ مَرِيْضٌ” (Zaid sakit). Sedangkan pada kalimat kedua, “خَالِدٌ” menjadi mubtada muakhor dan khabar-nya dibuang, yaitu kata “عِنْدِيْ” jika diperlihatkan.

Contoh lain boleh membuang mubtada atau khabar yang ma’lum adalah syair Arab berikut ini :

نَحْنُ بِمَا عِنْدَنَا وَأَنْتَ بِمَا | عِنْدَكَ رَاضٍ وَالرَّأْيُ مُخْتَلِفٌ
“Aku rela dengan apa yang ada pada diriku, engkau pun telah rela dengan apa yang ada pada dirimu, karena pendapat kita jelas berbeda”.

Fokus kalimat dalam syair tersebut yaitu kata “نَحْنُ بِمَا عِنْدَنَا, khabar-nya dibuang berupa kata رَاضُوْنَ.

Lalu bagaimana kalau membuang mubtada dan khabar sekaligus? Jawabnya, boleh bilamana telah diketahui. Contoh mudahnya ketika ditanya “أَزَيْدٌ قَائِمٌ” (apakah Zaid berdiri?), kita cukup menjawab “نَعَمْ” (iya). Maksudnya “نَعَمْ، زَيْدٌ قَائِمٌ” (iya, Zaid berdiri).

Kedua, wajib membuang khabar apabila ia terjatuh setelah laula ghalibiyah imtina’iyahلَوْلَا”, yaitu huruf yang mencegah terjadinya jawab dan jawab tersebut bergantung pada wujudnya mubtada.

Contoh :

  • لَوْلَا زَيْدٌ لَأَتَيْتُكَ (Jika Zaid tidak ada, aku tidak akan mendatangimu).
  • لَوْلَا خَالِدٌ لَغَرِقْتُ (Jika Khalid tidak ada, aku mati tenggelam).

Kata “زَيْدٌ” dibaca rofa’ menjadi mubtada isim syarat yang pasti membutuhkan jawab, dan kalimat “لَأَتَيْتُكَ” sebagai jawabnya. Di mana khabar-nya ? Dibuang, dan ini wajib. Ketika diperlihatkan, yaitu “لَوْلَا زَيْدٌ مَوْجُوْدٌ لَأَتَيْتُكَ”. Begitu juga dengan contoh yang kedua, takdirnya adalah “لَوْلَا زَيْدٌ مَوْجُوْدٌ لَغَرِقْتُ”.

Akan tetapi, jika makna imtina’ digantungkan kepada sifat yang melekat pada mubtada, maka tidak boleh membuang khabar. Contohnya kalimat “لَوْلَا زَيْدٌ بَاكٍ لَضَحِكْتُ” (Jika Zaid tidak menangis, aku tertawa). Lafadz “بَاكٍ” di situ sebagai khabar dan tidak boleh dibuang.

Ketiga, wajib membuang khabar apabila mubtada berupa kata yang mutlak digunakan untuk sumpah.

Contoh :

  • لَعَمْرُكَ لَأَفْعَلَنَّ الخَيْرَ (Demi umurmu (hidupmu), aku benar-benar berbuat kebaikan).
  • لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِى سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ (Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)). QS. Al-Hijr ayat 72.

Kalimah “لَعَمْرُكَ” dalam contoh kalimat di atas adalah mubtada yang khabar-nya wajib dibuang. Apabila ditampakkan menjadi “لَعَمْرُكَ قَسَمِيْ” (demi umurmu itu menjadi sumpahku). Demikian halnya dengan contoh kalimat kedua dalam ayat Al-Qur’an.

Namun ketika lafadz tersebut tidak secara mutlak digunakan untuk sumpah, maka memiliki dua wajah, yaitu menetapkan dan membuang khabar. Contohnya kalimat “عَهْدُ اللّهِ لَأَفْعَلَنَّ كَذَا / عَهْدُ اللّهِ قَسَمِيْ لَأَفْعَلَنَّ كَذَا” (demi janji Allah itu menjadi sumpahku, aku benar-benar melakukan ini).

Keempat, ketika khabar terjatuh setelah wawu ma’iyyah, yaitu yang menunjukkan makna ijtima’/mushahibab (beserta, bersama), maka wajib membuang khabar.

Contoh :

  • كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنَعَ (Setiap yang membuat beserta barang yang dibuat).
  • كُلُّ رَجُلٍ وَسَوَادُهُ (Setiap lelaki beserta kulit hitamnya).

Kata  “كُلُّ صَانِعٍ” menduduki kedudukan mubtada, “صَنَعَ” sebagai shilah maushul dan wawu di situ adalah wawu ma’iyyah. Adapun khabar-nya dibuang, misal ditampakkan yaitu ucapan “كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنَعَ مُقْتَرِنَانِ”.

Jika khabar terjatuh setelah huruf wawu tetapi tidak menunjukkan makna ma’ah/mushahibah, maka tidak wajib dibuang. Artinya, boleh membuang khabar atau menetapkannya, dengan catatan terdapat dalil yang menunjukkan terbuangnya khabar.

Contoh :

  • وَكُلُّ امْرِئٍ وَالمَوْتُ يَلْتَقِيَانِ (Setiap orang dan kematian itu akan berjumpa).
  • زَيْدٌ وَعَمْرٌو يَذْهَبَانِ (Zaid dan Amr pergi).

Pada contoh tersebut kata “يَلْتَقِيَانِ/ يَذْهَبَانِ” berkedudukan rofa’ ditarkib khabar dan terjatuh setelah huruf wawu tetapi tidak menunjukkan arti ma’iyyah, serta tidak adanya dalil. Oleh karenanya tidak boleh dibuang, karena jika dibuang nantinya mukhatthab akan bingung dengan yang kita ucapkan.

Kelima, wajib membuang khabar ketika terjatuh setelah chal yang tidak patut bilamana dijadikan khabar.

Contoh :

  • ضَرْبِيَ العَبْدَ مُسِيْئًا (Pukulanku kepada hamba yang berbuat jahat).
  • قِرَائَتِيْ الكِتَابَ مَفْتُوحًا (Bacaanku akan buku yang terbuka).

Pada contoh pertama, lafadz “ضَرْبِيْmarfu’ berkedudukan mubtada, tanda rofa’-nya yaitu dhammah muqaddarah (dikira-kirakan) atas ya’ mutakallim. Lafadz “العَبْدَmanshub sebagai maf’ul bih (obyek/korban). Sedangkan “مُسِيْئًا” menjadi chal (keadaan) dari “العَبْدَ”, yakni “أَضْرِبُهُ حَالَ إِسَاءَتِهِ” (aku memukul hamba pada saat ia melakukan kejahatan).

Apakah sah kalau “مُسِيْئًا” dijadikan khabar mubtada? Jawabnya, tidaklah sah. Karena kata “ضَرْبٌ” tidak disifati dengan al-isa’ah (kejahatan), melainkan menyifati kata “مَضْرُبٌ” (yang dipukul/obyek/korban), dalam contoh tersebut yaitu “العَبْدَ” (hamba).

Lalu mana khabar-nya ? Dibuang, misal diperlihatkan berupa kalimat “ضَرْبِيَ العَبْدَ كَائِنٌ إِذَا كَانَ مُسِيْئًا” (pukulanku kepada hamba itu wujud ketika ia berbuat kejahatan).

Bagaimana bisa “مُسِيْئًا” ditarkib chal sedangkan “كَانَ” beramal me-rofa’-kan isim dan me-nashob-kan khabar? Lafadz “كَانَ” tidak beramal “tarfa’ul isma wa tanshibul khabar”, melainkan berlaku tam تام” (sempurna). Artinya hanya membutuhkan ma’mul marfu’ saja, tidak butuh akan ma’mul manshub. Penjelasan lebih lanjut terkait bab ini akan kami sampaikan pada artikel selanjutnya. Insya Allah.

Itulah tadi pembahasan mengenai hukum membuang mubtada (subyek) dan khabar (predikat) dalam tata bahasa Arab. Semoga mengedukasi dan menginspirasi.

Article Policy: Diperbolehkan mengambil sebagian artikel ini untuk tujuan pembelajaran dengan syarat menyertakan link sumber. Mohon koreksi jika ditemukan kesalahan dalam karya kami.
Tutup Komentar