Kaidah Jumlah Ismiyah
Oleh Nahwushorof.ID, pada : Mei 08, 2022

Mengutip dari buku Ilmu Nahwu untuk Pemula oleh Abur Razin dan Ummu Razin, ada 3 kaidah dalam menyusun jumlah ismiyah, yaitu:
- Mubtada' dan khobar harus rofa'
- Mubtada' harus isim ma’rifah
- Mubtada' dan khobar harus sama dari jenis dan jumlahnya
1. Mubtada' dan khobar harus rofa'
Isim | Rofa’ | Contoh |
---|---|---|
Mufrad | Dhommah | طَالِبٌ |
Tasniyah | Alif | طَالِبَانِ |
Jamak mudzakkar salim | Wawu | طَالِبُونَ |
Jamak muannats salim | Dhommah | طَالِبَاتٌ |
Jamak taksir | Dhommah | طُلَّابٌ |
Asma’ul khomsah | Wawu | أَبُوكَ |
2. Mubtada' harus isim ma’rifah
Sedangkan khobar, hukum asalnya adalah nakirah, kecuali yang datang dari isim-isim yang asalnya ma'rifah, seperti isim alam (kata nama), isim isyarah (kata tunjuk), isim dhomir (kata ganti), dan lain sebagainya. Contohnya seperti kalimat:
هَذَا كِتَابٌ
“Ini adalah buku”
Pada contoh jumlah ismiyah di atas, kata هَذَا berfungsi sebagai mubtada’. Kata tersebut merupakan bentuk dari isim isyarah untuk mufrad mudzakkar, dan merupakan isim ma’rifah. Sedangkan kata كِتَابٌ adalah khobarnya yang berupa isim nakirah. Kata ini juga berbentuk mufrad mudzakkar, sama jenis dan bilangan dengan mubtada’nya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah bisa jika kata كِتَابٌ didatangkan dalam keadaan ma’rifah? Contohnya menjadi seperti kalimat berikut:
هَذَا الكِتَابُ
“Buku ini ...“
Jawabnya adalah tidak bisa, karena jika kata كِتَابٌ datang berbentuk ma’rifah, maka makna kalimatnya bukan “ini adalah buku”, melainkan “buku ini ...”. Malah menjadi kalimat yang kurang sempurna karena masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut lagi. Jadi, kenapa “buku ini ...”? Misal dilengkapi menjadi kalimat:
هَذَا الكِتَابُ جَدِيْدٌ
“Buku ini baru”
Sebab dengan demikian kalimat tersebut menjadi sempurna. Sehingga lawan bicara atau pendengar (mukhthab) bisa memahami perkataan tanpa harus bertanya kembali kepada pembicara (mutakallim).
Dan penting diketahui bahwa setiap kalimat yang mubtada’nya berupa ma’rifah, tidak mewajibkan khobarnya datang dalam keadaan nakirah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa untuk isim-isim yang asalnya ma’rifah, maka diperbolehkan berkedudukan sebagai khabar. Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dipaksakan menjadi nakirah. Contohnya seperti kalimat:
هَذَا زَيْدٌ
“Ini adalah Zaid”
Berdasarkan kaidah jumlah ismiyah kalimat di atas telah memenuhi syarat jumlah ismiyah karena mubtada’nya ma’rifah dan khobarnya sekalipun juga berupa ma’rifah.
3. Mubtada' dan khobar harus sama dari jenis dan jumlahnya
Jumlah | Mudzakkar | Muannats |
---|---|---|
Mufrad | الطَّالِبُ مُسْلِمٌ | الطَّالِبَةُ مُسْلِمَةٌ |
Tasniyah | الطَّالِبَانِ مُسْلِمَانِ | الطَّالِبَتَانِ مُسْلِمَتَانِ |
Jamak salim | الطَّالِبُونَ مُسْلِمُونَ | الطَّالِبَاتُ مُسْلِمَاتٌ |
Jamak taksir | الطُّلَّابُ مُسْلِمُونَ | - |
Perhatikanlah bahwa kalimat ismiyyah dalam tabel di atas sama jenis dan bilangan antara mubtada’ dan khobarnya. Misalkan kalimat الطَّالِبَةُ مُسْلِمَةٌ (siswi itu muslimah), kata الطَّالِبَةُ berjenis perempuan (feminim) dan berjumlah mufrad (tunggal), begitu juga dengan kata مُسْلِمَةٌ yang sama jenis dan bilangan dengan mubtada'nya.