Skip to main content

Jumlah Ismiyah: Contoh Kalimat, Ciri-ciri, dan Penjelasannya

Table of Content [ ]
Dalam tata bahasa Arab, istilah kalimat disebutkan dengan kata jumlah. Kalimat atau jumlah dalam bahasa Arab dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jumlah fi’liyah (kalimat verba) dan jumlah ismiyah (kalimat nominal). Dilihat berdasarkan pola struktur kalimatnya, jumlah fi’liyah adalah kalimat yang diawali fi’il (kata kerja). Sedangkan jumlah ismiyah adalah kalimat yang diawali dengan isim (kata benda). Berhubung pembahasan tentang jumlah fi’liyah telah kita bicarakan beberapa waktu lalu, maka dalam artikel kali ini kita akan fokus pada penjelasan jumlah ismiyah yang meliputi contoh kalimat, ciri-ciri, dan pengertiannya.

Pengertian Jumlah Ismiyah

Jumlah ismiyah merupakan istilah dasar dalam tata bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu jumlah dan ismiyyah. Secara lughat (bahasa), جُمْلَة berarti kalimat, anak kalimat, beberapa, dan banyak. Menurut Ahmad Qabbisy, definisi jumlah adalah:

الجُمْلَةُ هِيَ الكَلَامُ المُفِيْدُ بِالقَصْدِ كَأَنْ تَتَأَلَّفَ مِنْ فِعْلٍ وَفَاعِلٍ كـ (قَامَ زَيْدٌ) أَوْ مُبْتَدَإٍ وَخَبَرٍ كـ (التِّلْمِيْذُ مُجْتَهِدٌ) وَمَا هُوَ بِمَنْزِلَتِهِمَا كـ (ضَرْبًا اللِّصَّ) أَوْ (إِنَّ زَيْدًا مُجْتَهِدٌ)

Artinya: jumlah adalah kalimat yang memiliki makna dengan maksud tertentu, seperti halnya terdiri dari susunan fi’il dan fa’il, contohnya قَامَ زَيْدٌ (Zaid berdiri), atau terdiri dari susunan mubtada’ dan khobar seperti التِّلْمِيْذُ مُجْتَهِدٌ (pelajar itu rajin), dan atau kalimat yang menyerupai keduanya, seperti ضَرْبًا اللِّصَّ (pukullah pencuri itu), إِنَّ زَيْدًا مُجْتَهِدٌ (sesungguhnya Zaid itu rajin).

Sedangkan kata إِسْمِيَّة berasal dari kata إِسْمٌ (nama) yang mendapat imbuhan ya’nisbah, yaitu huruf yang berfungsi untuk menisbatkan sesuatu. Dalam kaidah ilmu nahwu yang mempelajari bahasa Arab, istilah isim digunakan untuk menyatakan kepada nama-nama benda baik itu konkret maupun abstrak, serta tidak terikat dengan zaman atau waktu. Contohnya seperti نُوْرٌ (cahaya), شَجَرَةٌ (pohon), أَحْمَدُ (Ahmad), بَقَرَةٌ (sapi), dan lain sebagainya.

Ada beberapa pengertian tentang jumlah ismiyah yang dikemukakan oleh para ulama ahli nahwu, di antaranya:

كُلُّ جُمْلَةٍ تَتَرَكَّبُ مِنْ مُبْتَدَإٍ وَخَبَرٍ تُسَمَّى جُمْلَةٌ إِسْمِيَّةٌ

Artinya: setiap jumlah (kalimat) yang tersusun dari mubtada’ dan khobar dinamakan jumlah ismiyah.

الجُمْلَةُ الَّتِيْ تُبْدَأُ بِاسْمٍ أَوْ ضَمِيْرٍ

Artinya: jumlah ismiyah adalah kalimat yang diawali dengan isim (kata benda) atau dhamir (kata ganti).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jumlah ismiyah adalah setiap kalimat yang didahului oleh isim dan terdiri dari susunan mubtada’ dan khobar. Mubtada’ adalah kata berbentuk isim yang ingin dijelaskan. Sedangkan khobar adalah penjelasan dari kondisi, keadaan, jabatan, atau penjelasan dalam bentuk apapun dari mubtada’. Jika dibandingkan dengan pola kalimat nominal dalam bahasa Indonesia, maka mubtada’ bisa dikatakan sebagai subyek, dan khobar adalah predikatnya. Contoh pola kalimatnya seperti:

  • الكِتَابُ جَدِيْدٌ (Kitab itu baru)
  • زَيْدٌ مُسْلِمٌ (Zaid adalah muslim)
  • الجَامِعَةُ كَبِيْرَةٌ (Kampus itu besar)

Dari ketiga contoh di atas, kata الكِتَابُ (kitab), زَيْدٌ (Zaid), dan الجَامِعَةُ (kampus) berkedudukan sebagai subyeknya (mubtada’). Sedangkan kata جَدِيْدٌ (baru), مُسْلِمٌ (muslim), dan كَبِيْرَةٌ (besar) adalah predikatnya (khobar).

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman tentang mubtada’ khobar yang menjadi unsur pokok pembentuk jumlah ismiyah agar menjadi kalimat utuh dan sempurna.

Ciri-ciri Jumlah Ismiyah

Supaya mudah untuk mengenali penyusunan jumlah ismiyyah dalam bahasa Arab. Jumlah ismiyah atau kalimat nominal tidak keluar dari ciri-ciri berikut ini:

1. Diawali kalimah isim (kata benda)

Dari struktur pembentuk kalimatnya, jumlah ismiyyah dimulai dengan isim (nomina) baik konkret maupun abstrak, yang berfungsi sebagai mubtada’ (subyek). Maka kalimat yang dimulai dengan kategori fi’il (kata kerja) tidak bisa disebut jumlah ismiyah.

2. Terdiri dari mubtada’ dan khobar

Sebagaimana penjelasan pada ciri pertama, jumlah ismiyah adalah kalimat yang diawali oleh isim sebagai fungsi mubtada’ yang dijelaskan maknanya oleh khobar. Fungsi mubtada’ tidak lain ibarat kotak kosong yang bisa diisi oleh kata apa saja yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku atas mubtada’. Maka keduanya merupakan unsur penting dalam pembentukan jumlah ismiyyah yang tidak luput dari pembahasan para linguis Arab. Menurut Imam Sibawaih dan para linguis Arab lainnya, dua unsur ini adalah sebuah keharusan dalam jumlah ismiyah. Hubungan keduanya adalah hubungan menjelaskan dan dijelaskan.

3. Mubtada’ dan khobar harus sesuai jenis dan bilangannya

Maksud kesesuaian jenis di sini adalah mudzakkar (maskulin) atau muannats (feminin). Sedangkan maksud sesuai dengan bilangan atau jumlahnya adalah mufrad (tunggal), mutsanna (ganda), dan jama’ (plural). Artinya, jika mubtada’ berupa mufrad mudzakkar, maka khobar wajib dalam keadaan mufrad mudzakkar. Begitu juga ketika mubtada’ berupa jama’ muannats, maka khobarnya harus dalam bentuk jama’ muannats.

4. Mubtada’ berkategori isim ma’rifah

Mubtada’ sebagai fungsi subyek pada umumnya adalah berupa isim-isim ma’rifah, yaitu dhamir (kata ganti), isyarah (kata tunjuk), isim alam (kata nama), isim maushul (kata sambung), isim mudhaf, dan isim yang ber-alif lam. Akan tetapi, ada kondisi tertentu di mana isim nakiroh diposisikan sebagai mubtada’ pada suatu kalimat dalam bahasa Arab.

5. Mubtada’ berada diawal kalimat

Umumnya mubtada’ terletak di awal kalimat daripada khobar. Ini merupakah kaidah asal dalam penyusunan jumlah ismiyah. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu sesuai dengan persyaratan yang berlaku, khobar sebagai fungsi predikat berada di awal kalimat.

Contoh Kalimat Jumlah Ismiyah

Setelah mengetahui apa itu jumlah ismiyyah dengan ciri khas struktur kalimatnya yang tersusun dari mubtada’ (subyek) dan khabar (predikat), sekarang coba perhatikan beberapa contoh jumlah ismiyah dalam tabel berikut ini:
Artinya Jumlah Ismiyah
Orang mukmin itu mulia المُؤْمِنُ كَرِيْمٌ
Allah itu Esa اللّهُ أَحَدٌ
Fatimah di dalam rumah فَاطِمَةُ فِى الدَّارِ
Ali di depan kelas عَلِيٌّ أَمَامَ الفَصْلِ
Kitab guru itu baru كِتَابُ المُدَرِّسِ جَدِيْدٌ
Ini adalah kemeja هَذَا قَمِيْصٌ
Wartawan itu jujur الصَّحْفِى صَادِقٌ
Musthafa seorang guru مُصْطَفَى مُدَرِّسٌ
Pelajar yang cerdas itu hadir طَالِبٌ ذَكِيٌّ حَاضِرٌ
Ibrahim di depan masjid أَمَامَ المَسْجِدِ إِبْرَاهِيْمُ

Pada contoh pertama, kata المُؤْمِنُ (orang mukmin) berkategori isim (kata benda) yang ma’rifah (tertentu), salah satu tanda yang dimilikinya yaitu adanya huruf alif lam ta’rif (huruf yang menjadikan isim ma’rifah). Kata المُؤْمِنُ berfungsi sebagai mubtada’ (subyek), dan kata كَرِيْمٌ sebagai khobar (predikat), sehingga kalimat tersebut memberikan makna sempurna, dapat dipahami, dan tidak menimbulkan pertanyaan bagi lawan bicara atau pendengarnya.

Begitu juga dengan contoh-contoh lainnya, semuanya diawali oleh isim berkategori ma’rifah, kecuali kalimat طَالِبٌ ذَكِيٌّ حَاضِرٌ (pelajar yang cerdas itu hadir). Kata طَالِبٌ merupakan bentuk isim nakirah, tetapi dalam kalimat barusan diposisikan sebagai mubtada’. Meski cenderung jarang digunakan dalam teks-teks berbahasa Arab, namun hal ini diperbolehkan karena telah memenuhi syarat-syarat mubtada isim nakirah, di mana kata طَالِبٌ (pelajar) adalah isim (kata benda) yang memiliki sifat, yaitu lafadz ذَكِيٌّ (cerdas).

Adapun kalimat أَمَامَ المَسْجِدِ إِبْرَاهِيْمُ (Ibrahim di depan masjid) adalah contoh jumlah ismiyah yang tidak menetapi kaidah asal, di mana kata إِبْرَاهِيْمُ berkedudukan sebagai mubtada’ yang diakhirkan (muakhkhor), dan kata أَمَامَ المَسْجِدِ  berposisi menjadi khobar yang didahulukan (muqaddam).

Kedudukan Jumlah Ismiyah

Meskipun unsur-unsur pembentuk jumlah ismiyah (mubtada’ dan khabar) telah mempunyai fungsi masing-masing, tetapi jumlah ismiyah sebagai suatu kesatuan juga dapat mempunyai fungsi ataupun kedudukan tersendiri. Menurut Ubadah (2007: 59-64) kedudukan jumlah ismiyah dalam bahasa Arab adalah sebagaimana berikut ini.

1. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai khabar.

Yaitu ketika mubtada’ memiliki khabar berupa jumlah ismiyah, dengan syarat adanya rabith (dhamir yang kembali kepada mubtada’). Contohnya:

  • الفِيْلُ خُرْطُومُهُ طَوِيْلٌ (gajah itu belalainya panjang).
  • الزَّرَافَةُ رَقَبَتُهَا طَوِيْلَةٌ (jerapah itu lehernya panjang).

2. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai chal.

Yaitu ketika terjatuh setelah perabot wawu chal yang memuat rabith (dhamir yang kembali kepada shohibul chal). Seperti kalimat:

  • خَرَجْتُ وَالشَّمْسُ طَالِعَةٌ (Saya keluar pada saat matahari terbit).
  • لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى (Janganlah kalian mendekati sholat dalam keadaan mabuk).

3. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai maf’ul bih.

Yaitu menjadi obyek dari fi’il sebuah qaul (ucapan) atau hikayah (cerita). Contohnya:

  • قَالَ: إِنِّي عَبْدُ اللّهِ (dia berkata: sesungguhnya Saya hamba Allah).

4. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai na’ibul fa’il.

Ketika fi’il dalam jumlah tersebut adalah fi’il mabni majhul, maka jumlah ismiyah bisa berfungsi sebagai na’ibul fa’il. Contohnya seperti:

  • قِيْلَ السَّمَاءُ لَا تُمْطِرُ ذَهَبًا (konon langit tidak hujan emas).

5. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai na’at. Contohnya:

  • قَرَأْتُ كِتَابًا أَفْكَارُهُ قَيِّمَةٌ (Saya membaca buku yang pemikirannya sempurna).

6. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai ma’thuf. Sebagaimana kalimat berikut:

  • شَاهَدْتُ طَائِرًا جَمِيْلًا وَلَوْنُهُ أَخْضَرُ (Saya melihat burung yang bagus dan warnanya hijau).
  • مُحَمَّدٌ خُطْبَتُهُ جَمِيْلَةٌ وَصَوْطُهُ حَسَنٌ (khutbahnya Muhammad bagus dan suaranya merdu).

7. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai badal. Seperti dalam kalimat berikut:

  • وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ (Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu).

8. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai shilah maushul. Contohnya:

  • يَفُوزُ فِى الإِنْتِخَابَاتِ مَنْ خُلُقُهُ حَسَنَةٌ (orang yang baik akhlaknya menang dalam pemilu).

9. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai mudhaf ilaih. Sebagaimana kalimat:

  • صَلِّ حَيْثُ المَكَانُ طَاهِرٌ (sholatlah sekiranya tempat itu suci).
  • وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيْلٌ (dan ingatlah ketika kalian (kaum Muhajirin) masih berjumlah sedikit).

10. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai tafsir (penjelas).

Artinya jumlah ismiyah tersebut menjelaskan kepada kata yang terjatuh sebelumnya. Seperti contoh berikut:

  • وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ۙ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar).

11. Jumlah ismiyah berfungsi sebagai kalimat sisipan.

Maksudnya, jumlah ismiyah sebagai jumlah yang disisipkan di antara dua unsur dalam suatu kalimat. Contoh kalimatnya sebagai berikut:

  • هَبَطَتْ – وَالحَمْدُ لِلّهِ – الطَّائِرَةُ بِسَلَامٍ (pesawat itu -alhamdulillah- telah mendarat).
  • المُتَّهَمُ – وَالحَقُّ يُقَالُ – بَرِيْءٌ مِنَ التُّهَمِ (terdakwa itu -kebenaran dikatakan- bebas dari tuduhan).

Article Policy: Diperbolehkan mengambil sebagian artikel ini untuk tujuan pembelajaran dengan syarat menyertakan link sumber. Mohon koreksi jika ditemukan kesalahan dalam karya kami.
Tutup Komentar