Skip to main content

Jumlah dalam bahasa Arab: Pengertian dan Pembagiannya dalam Ilmu Nahwu

Table of Content [ ]
Dalam mempelajari serta memahami bahasa Arab dibutuhkan adanya pembelajaran secara intensif mengenai tata bahasa atau ilmu nahwu (sintaksis) agar mencapai hasil yang optimal. Termasuk bagian yang paling mendasar dan penting diketahui dalam keilmuan ini adalah jumlah atau bisa juga disebut dengan istilah kalimat, yang akan kita bicarakan secara mendalam pada kajian Nahwu Shorof Online kali ini.

Pengertian Jumlah dalam Bahasa Arab

Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa jumlah juga dapat diartikan dengan kalimat. Menurut ulama ahli nahwu, yang dimaksud jumlah adalah setiap lafadz yang telah tersusun atau terdiri minimal atas 2 kata, baik itu memberikan kepahaman (berfaedah) atau tidak.

Pengertian jumlah dalam bahasa Arab ini tentunya bersifat lebih global dibandingkan dengan kalam dalam ilmu nahwu, yang di mana ia harus dapat memberikan pengertian yang utuh dan sempurna (berfaedah) bagi mukhathab (lawan bicara). Sedangkan jumlah tidak harus berfaedah, asalkan telah tersusun (murakkab) ia sah disebut sebagai jumlah.

Contoh mudahnya adalah lafadz "جَاءَ الأُسْتَاذُ أَحْمَدُ" (ustadz Ahmad telah datang). Lafadz tersebut sudah memberikan informasi secara sempurna sehingga mukhathab (lawan bicara) tidak lagi bertanya kelanjutannya, sehingga mutakallim (pembicara) sebaiknya diam. Artinya, lafadz tersebut sudah sah disebut sebagai kalam, jika ia sudah termasuk kalam dalam ilmu nahwu maka sah pula dikatakan sebagai jumlah, karena telah tersusun dan berfaedah.

Tetapi, hal tersebut akan berbeda lagi ketika kita dihadapkan dengan contoh lafadz "إِنْ جَاءَ الأُسْتَاذُ أَحْمَدُ" (jika ustadz Ahmad datang ...). Perkataan seperti ini sudah bisa disebut jumlah dalam bahasa Arab, namun belum sah kita kategorikan sebagai kalam. Karena dalam perkataan tersebut belum bisa memberikan informasi yang utuh kepada pendengarnya, sehingga mutakallim (pembicara) perlu melanjutkan perkataannya.

Lebih sederhananya lagi, yang dimaksud dengan jumlah dalam bahasa Arab adalah setiap lafadz yang tersusun dari musnad dan musnad ilaih, seperti fi'il dan fa'il/na'ibul fa'il, mubtada' dan khobar, syarat dan jawab. Contohnya lafadz "جَاءَ زَيْدٌ" (Zaid datang), yang telah mengumpulkan fi'il dan fa'il. Lafadz "زَيْدٌ جَاءَ" (Zaid itu datang), yang sudah tersusun atas mubtada' dan khobar. Lafadz "إِنْ جَاءَ زَيْدٌ فَأُكْرِمُ" (jika Zaid datang maka akan ku muliakan dia). Dan sebagainya.

Macam Pembagian Jumlah/Kalimat dalam Bahasa Arab

Syekh Yusuf bin Abdu al-Qadir al-Barnawi menyebutkan bahwa pembagian jumlah dalam bahasa Arab itu ada 5 macam, yaitu ismiyyah, fi'liyyah, dhorfiyyah, dzatu wajhain, dan syarthiyyah, yang dihimpun dalam nadham sya'ir di bawah ini :

إِسْمِيَّةٌ فِعْلِيَّةٌ ظَرْفِيَّةْ | وَذَاتُ وَجْهَيْنِ وَزِدْ شَرْطِيَّةْ

"Jumlah itu ada kalanya jumlah ismiyyah, fi'liyyah, dhorfiyyah, dzatu wajhain, dan tambahkan lah jumlah syarthiyyah". (Lihat, Syekh Yusuf bin Abdul Qodir, dalam kitab "Qawa'idul I'rab").

1. Jumlah Ismiyyah (جملة اسميّة)

Dalam ilmu nahwu yang dimaksud jumlah ismiyyah (kalimat nominal) adalah jumlah yang pada permulaan lafadznya di awali dengan kalimah isim, yaitu kalimah yang menunjukkan atas makna tertentu dan tidak memiliki keterkaitan dengan zaman, baik isim tersebut terlihat secara jelas maupun dengan cara penta'wilan (dibelokkan dari lahirnya).

Contoh jumlah ismiyyah yang tampak jelas adalah lafadz "زَيْدٌ قَائِمٌ" (Zaid berdiri). Kata "زَيْدٌ" dalam contoh tersebut merupakan kalimah isim yang menunjukkan atas mufrad mudzakkar dan nampak dengan jelas dalam penulisan atau pengucapannya. Adapun contoh jumlah ismiyyah dengan cara penta'wilan adalah lafadz "وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ" yang jika dita'wil mashdar maka menjadi "صِيَامُكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ" (dan puasa kalian itu lebih baik bagi kalian).

Baca juga: Pembagian Kalimah Isim dalam Bahasa Arab

2. Jumlah Fi'liyyah (جملة فعليّة)

Yang dimaksud jumlah fi'liyyah (kalimat verba) adalah jumlah yang diawali dengan kalimah fi'il, yaitu kata yang menunjukkan kepada pekerjaan dan memiliki keterkaitan dengan zaman, baik itu tampak jelas maupun taqdir (dikira-kira kan).

Contoh jumlah fi'liyyah yang nampak secara jelas adalah lafadz "قُمْ يَاخَالِدُ" (berdirilah ! wahai Khalid). Kata "قُمْ" pada contoh ini merupakan kalimah fi'il yang menunjukkan arti kata perintah, yaitu fi'il amar. Sedangkan untuk contoh jumlah fi'liyyah yang dikira-kira kan seperti perkataan "يَاخَالِدُ", jika ditaqdirkan kurang lebihnya menjadi "أَدْعُو: يَاخَالِدُ" (aku memanggil: wahai Khalid).

Baca juga: Pengertian, Macam, dan Ciri-ciri Kalimah Fi'il

3. Jumlah Dhorfiyyah (جملة ظرفيّة)

Jumlah dhorfiyyah adalah jumlah yang dimulai dengan dhorof (kata yang menunjukkan makna tempat dan zaman) atau jer majrur (huruf jer dan isim yang dijerkan). Contohnya adalah ungkapan "هَلْ عِنْدَكَ زَيْدٌ؟" (apakah Zaid di sampingmu?). Kata "عِنْدَكَ" pada contoh jumlah dhorfiyyah tersebut adalah lafadz yang menunjukkan makna atas keberadaan si Zaid. Contoh lain seperti lafadz "هَلْ فِى الدَّارِ أَبُوْكَ" (apakah bapakmu ada di rumah?). Dan sebagainya.

4. Jumlah Dzatu Wajhain (جملة ذات وجهين)

Dzatu wajhain (ذات وجهين) secara bahasa berarti dua wajah. Jumlah dzatu wajhain adalah jumlah yang memiliki dua wajah, yaitu jumlah yang diawali dengan dhorof atau jer majrur.

Perhatikan contoh berikut : "هَلْ عِنْدَكَ خَالِدٌ / هَلْ فِى الدَّارِ أَخُوكَ" (apakah Zaid di sampingmu? / apakah saudaramu ada di rumah?). Lafadz "عِنْدَكَ" dan "فِى الدَّارِ" adalah dhorof dan jer majrur yang membutuhkan ta'alluq atau keterhubungan dengan kalimah lainnya. Apabila pada lafadz sebelumnya tidak ditemukan ta'alluqnya, maka taqdir atau dikira-kira kan, bisa berupa fi'il (إِسْتَقَرَّ), isim (مُسْتَقِرٌّ), atau lafadz sejenisnya.

Apabila yang dikira-kira kan itu berupa kalimah fi'il maka ia termasuk dalam kategori jumlah fi'liyyah. Sebaliknya, jika yang dikira-kira kan adalah kalimah isim, maka termasuk golongan jumlah ismiyyah. Inilah mengapa ia disebut dengan jumlah dzatu wajhain (memiliki dua wajah).

5. Jumlah Syarthiyyah (شرطيّة)

Yang dimaksud dengan jumlah syarthiyyah dalam bahasa Arab adalah jumlah yang menjadi fi'il syarat yang terjatuh setelah huruf syarat. Contoh mudahnya seperti lafadz "إِنْ جَاءَ زَيْدٌ جَاءَ عَمْرٌو" (jika Zaid datang maka Amr pun juga datang). Kata "جَاءَ زَيْدٌ" tersebut adalah contoh jumlah syarthiyyah, ia menjadi fi'il syarat dari huruf "إِنْ" yang pasti membutuhkan jawab, yaitu lafadz "جَاءَ عَمْرٌو". Dan sebagainya.

Itulah penjelasan jumlah dalam bahasa Arab yang mencakup pengertian dan pembagiannya. Setelah menyimak uraian di atas, kurang lebihnya dapat disimpulkan bahwa macam-macam jumlah dalam bahasa Arab ada 5 macam. Akan tetapi, secara garis besarnya jumlah itu hanya terbagi menjadi dua macam saja, yaitu jumlah ismiyyah (diawali kalimah isim) dan fi'liyyah (diawali kalimah fi'il). Yang dimaksud dengan "diawali" di sini yaitu menurut susunan aslinya. Misalkan lafadz "رَاكِبًا جَاءَ خَالِدٌ" (Zaid datang dengan berkendara). Contoh ini disebut sebagai jumlah fi'liyyah, karena pada hakikatnya kata "رَاكِبًا" yang ada di awal kalimat tersebut berada pada akhir susunan, menjadi "جَاءَ خَالِدٌ رَاكِبًا".

Lalu, bagaimana dengan jumlah yang di awali dengan kalimah huruf? Apakah ia termasuk jumlah ismiyyah atau fi'liyyah?. Jika kita dihadapkan pada pertanyaan ini, jawabnya adalah jumlah yang di awali kalimah huruf yang dilihat itu kalimah yang terjatuh setelahnya, jika berupa isim maka termasuk jumlah ismiyyah (contohnya: "إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ"), apabila berupa fi'il maka disebut jumlah fi'liyyah (contohnya: "مَا جَاءَ إِلَّا عَمْرٌو").

Rujukan : Syaikh Yusuf bin Abdul Qodir al-Barnawi. "Qowa'idul I'rab". Diterjemahkan oleh, Abdul Khaliq. (Plosorejo: Ponpes Darus Salam), hlm. 3-5.

Article Policy: Diperbolehkan mengambil sebagian artikel ini untuk tujuan pembelajaran dengan syarat menyertakan link sumber. Mohon koreksi jika ditemukan kesalahan dalam karya kami.
Tutup Komentar